Sunday, September 13, 2015

HUKUM AQIKAH MENURUT ISLAM

Pertama, Sifat Sembelihan yang Layak (Sah) Sebagai Akikah (Aqiqah)
 Imam Nawawi ra berkata dalam kitabnya, al-Majmu', "Hewan yang layak (sah) disembelih sebagai Akikah (Aqiqah) adalah domba yang dewasa dan kambing yang dewasa yang sudah memiliki gigi seri (gigi depan).

Domba dan kambing itu harus selamat dari cacat. Karena Akikah (Aqiqah) adalah mengalirkan darah secara syar'i (sesuai dengan ketentuan Islam) maka sifat-sifat hewan yang disembelih untuk Akikah (Aqiqah) sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih untuk kurban, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad sahih sahih bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata "Rasulullah mengaqiqahkan Hasan da Husain masing-masing dengan seekor domba."

Oleh karena itu maka Aqiqah tidak bleh dengan hewan yang pincang, yang jlas kepincagan nya, Tidak boleh yang picek, yang jelas piceknya. tidak boleh yang sakit, yangjelas sakitnya. Tidak boleh yang kurus sekali. Tidak boleh yang buta, tidak boleh yang pecah tanduknya, dan tidak boleh yang lumpuh.

Aqiqah adalah satu bentuk pendekatan diri seorang haba kepada Allah Subhanau wa Taalaa, maka hendaklah ia menyembelih yang selamat dari aib dan yang gemuk, karena susungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.


Berdasarkan hadis di atas, sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai Akikah (Aqiqah) harus sama dengan sifat-sifat hewan yang disembelih sebagai kurban.

Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing sebagai aqiqahnya dan untuk anak perempuan satu ekor saja. Hadis-hadis yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing adalah hadis-hadis yang memiliki kelebihan (jika dibandingkan dengan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan satu kambing).

Oleh karena itu, hadis-hadis yang dijelaskan bahwa anak laki-laki diaqiqahkan dengan dua ekor kambing lebih layak diterima. Hal ini diperkuat lagi oleh perkataan Ibnu Abbas ra. "bahwa Rasulullah Saw mengakikahkan (Hasan dan Husain) masing-masing dua ekor domba."

Kedua, Waktu Penyembelihan Hewan Aqiqah
Menurut sunnah Nabi, penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahirannya dengan menghitung hari kelahirannya. Jadi, hewan akikah (Aqiqah) disembelih pada hari keenam, jika hari kelahiran tidak dihitung. Apabila sang anak dilahirkan pada malam hari maka dihitung dari hari setelah malam kelahiran itu.

Penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dilaksanakan pada hari ketujuh, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah ibn Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi Saw, beliau bersabda, "Hewan akikah (Aqiqah) itu disembelih pada hari ketujuh, hari keempat belas, dan hari kedua puluh satu."

Menurut penganut Mazhab Hanbali, akikah (Aqiqah) disembelih pada hari ketujuh dan seterusnya, kelipatan tujuh. Mereka memiliki beberapa riwayat (yang dapat dijadikan dalil).

Sedangkan menurut penganut Mazhab Syafi'I disebutkan bahwa penyebutan tujuh itu untuk ikhtiyar (pilihan) bukan keharusan. Rafi'I menambahkan bahwa waktu penyembelihan hewan akikah (Aqiqah) dimulai dari kelahiran bayi.

Imam Syafi'i berkata, "Makna hadis itu adalah penyembelihan akikah (Aqiqah) diusahakan tidak ditangguhkan hingga melewati hari ketujuh. Namun jika memang belum sempat berakikah sampai sang bayi telah mencapai usia baligh, maka gugurlah tanggung jawab orang yang seharusnya mengakikahkannya. Tetapi, jika sang anak ingin berakikah untuk dirinya sendiri maka ia boleh melakukannya.

Ada ulama yang mengatakan, "Tanggung jawab untuk mengakikahkan tidak hilang walaupun tidak dilaksanakan pada hari ketujuh, namun disunnahkan agar tidak terlambat sampai usia balig."

Imam an-Nawawi berkata, "Aku Abdillah al-Busyihi, salah seorang imam dalam mazhab kami berkata, "Jika tidak sempat menyembelih pada hari ketujuh maka di hari keempat belas, (jika belum juga dilaksanakan) maka di hari kedua puluh satunya, demikian terus pada kelipatan tujuh."

Ketika akan menyembelih hewan akikah (Aqiqah), orang yang menyembelih disunnahkan membaca, Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad hasan, dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw menyembelih hewan akikah (Aqiqah) untuk Hasan dan Husain, dan beliau bersabda. "Ucapkanlah, Dengan Nama Allah. Ya Allah, untuk-Mu dan kepada-Mu akikah si Fulan."

Namun, jika bacaannya dipendekkan dengan hanya mengucap bismillah maka itu lebih utama karena kesahihan hadis di atas masih diperdebatkan.

Disunnahkan juga memisah-misahkan anggota badan hewan akikah (Aqiqah), dan dilarang meremukkan tulang-tulangnya. Ada dua hikmah dari hal tersebut, yaitu:

Pertama, sebagai penghormatan terhadap orang-orang miskin dan para tetangga yang diberikan hidangan atau hadiah berupa daging akikah (Aqiqah), yaitu dengan memberikan potongan besar yang sempurna yang tulangnya tidak dipecah dan dagingnya tidak dikurangi. Tidak diragukan bahwa cara penyajian dan pemberian seperti ini merupakan penghormatan bagi orang-orang yang menerima.

Kedua, oleh karena kedudukan akikah sebagai tebusan untuk menebus sang bayi maka dianjurkan tulangnya tidak usah dipotong-potong, untuk mengharap keberkahan (dari Allah SWT juga dengan harapan agar anggota-anggota tubuh si bayi menjadi sehat dan kuat. Wallahu a'alam.

Ketiga, Apa yang Dilakukan Setelah Penyembelihan?
Setelah penyembelihan hewan selesai, hendaknya kaum Muslimin waspada, jangan sampai melumuri kepala bayi dengan darah hewan akikah (Aqiqah), karena hal itu merupakan kebiasaan kaum Jahiliyah. Akan tetapi, hendaknya kepala bayi tersebut dilumuri dengan minyak za'faran.

Disunnahkan memakan hewan akikah (Aqiqah), boleh juga menghadiahkannya atau menyedekahkannya kepada orang lain, karena akikah (Aqiqah) adalah menyembelih hewan yang hukumnya sunnah maka hukumnya sama dengan hewan kurban.

Rafi'I berkata, "Sunnah memberikan bagian kaki dari hewan akikah (Aqiqah) kepada bidan atau dokter (yang membantu proses kelahiran) sebagaimana yang disebutkan dalam sunnah al-Baihaqi, dari Ali r.a. bahwa Rasulullah Saw memerintahkan Fatimah ra. "Timbanglah rambut al-Husain, kemudian bersedekah dengan perak (seberat rambut yang ditimbang) dan berikanlah bagian kaki hewan akikah (Aqiqah) kepada wanita yang membantu proses kelahiran." (Diriwayatkan secara mauquf sampai pada Ali r.a.)

Disunnahkan juga memasak daging hewan akikah (Aqiqah) sehingga masakannya menjadi manis, dengan harapan agar sang bayi kelak memiliki akhlak yang baik dan terpuji. Akikah (Aqiqah) merupakan salah satu sunnah Rasulullah Saw. Ada beberapa hadits yang menyebutkan tentang anjuran melaksanakan akikah (Aqiqah), di antaranya.

Sulaiman ibn Amir adh-Dhaby ra berkata. Rasulullah Saw bersabda, "Anak yang baru lahir hendaknya diakikahi. Alirkanlah darah (sembelihan kambing) dan hilangkanlah kotoran serta penyakit yang menyertai anak tersebut (cukurlah rambutnya)." (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)

Diriwayatkan bahwa Aisyah istri Rasulullah Saw berkata, Rasulullah Saw bersabda, "Untuk anak laki-laki sembelihlah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor saja."

Samurah ibn Jundab ra berkata Rasulullah Saw bersabda. "Setiap anak yang dilahirkan itu tergadai dengan akikahnya, yaitu seekor kambing yang disembelih untuknya pada hari ketujuh, lalu si anak diberi nama dan rambut kepalanya dicukur."

Pengertian tergadai, Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Zad al-Maad menjelaskan. Bahwa Imam Ahmad berkata, Maknanya adalah bahwa anak yang baru lahir itu tertahan (terhalangi) untuk memberi syafaat kepada kedua orang tuanya.

Sedangkan kata ar-rahn (tergadai) menurut bahasa berarti al-habsu (tertahan), sebagaimana firman Allah SWT. "Tiap-tiap diri tertahan (harus mempertanggungjawabkan) apa yang telah diperbuatnya." (QS. Al-Muddatstsir: 38)

Secara zahir hadis tersebut berarti bahwa anak yang baru lahir itu tergadai (tertahan) dalam dirinya sendiri, terhalang dari kebaikan yang diinginkannya. Tetapi hal itu tidak mengakibatkan ia disiksa di akhirat kelak walaupun ia tertahan lantaran orang tuanya tidak melaksanakan akikah (Aqiqah) sehingga ia tidak mendapatkan segala kebaikan yang didapatkan oleh seorang anak yang diakikahkan oleh orang tuanya.

Ia kehilangan banyak kebaikan sebab kecerobohan orang tuanya. Sebagaimana ketika melakukan hubungan intim, jika orang tuanya membaca basmalah maka setan tidak akan mengganggu dan tidak akan membahayakan anaknya, namun jika orang tuanya tidak membaca basmalah maka sang anak tidak mendapat perlindungan dari gangguan setan tersebut.

Hadist tersebut di atas menjelaskan bahwa akikah (Aqiqah) merupakan perkara yang sangat penting yang harus dilakukan. Sehingga keharusan menunaikan akikah (Aqiqah) dan hal tidak dapat dipisahkan seorang anak dari akikah diumpamakan seperti anak yang tergadai dan harus ditebus dengan akikah (Aqiqah).

Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat bahwa akikah (Aqiqah) itu wajib, diantaranya adalah Laits ibn Saad, Hasan al-Bashri, pengikut Mazhab Zahiriyyah. Wallahu alam.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah memerintahkan kami mengakikahkan anak perempuan dengan seekor kambing dan anak laki-laki dengan dua ekor kambing."

Ummu Kurz al-Kabiyah r.a. berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah Saw tentang akikah, kemudian beliau menjawab, Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing yang sama ukurannya (umurnya) dan untuk anak perempuan satu kambing saja. Tidak jadi masalah apakah kambing-kambing jantan ataupun betina."

Diriwayatkan oleh Abu Daud, Thabrani, dan Baihaqi dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Saw mengakikahkan Hasan dengan satu domba dan Husain juga satu domba.

Dari hadis yang telah disebutkan di atas, secara global dapat kita pahami bahwa akikah merupakan sunnah yang dianjurkan Rasulullah Saw sebagai ungkapan rasa bahagia atas kelahiran sang bayi. Untuk itu disembelihlah kambing pada hari ketujuh dari kelahirannya. Akikah (Aqiqah) hukumnya sunnah mu'akkadah yang ditetapkan oleh mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (masa kini).Ada tiga pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fikih tentang disyariatkannya akikah (Aqiqah), yaitu sebagai berikut.

Pertama, akikah (Aqiqah) hukumnya sunnah.
Ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafi'I beserta pengikutnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan sebagian besar ulama ahli fikih dan ijtihad.

Dalil mereka adalah hadis-hadis yang telah diuraikan pada pembahasan di atas.

Kedua, akikah (Aqiqah) hukumnya wajib.
Ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Hasan al-Bashri, al-Laits ibn Sa'ad, dan lainnya.

Dalil yang mereka kemukakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Samurah ibn Jundab dari Nabi Saw beliau bersabda, "Setiap anak itu tergadai dengan akikahnya."

Analogi mereka, dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa anak yang baru lahir itu tertahan tidak dapat memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya sampai dia diakikahkan. Hal ini menegaskan bahwa akikah (Aqiqah) hukumnya wajib.

Ketiga, pendapat yang mengingkari disyariatkannya akikah (Aqiqah).
Ulama yang berpendapat demikian adalah ulama penganut Mazhab Hanafi.

Dalil yang mereka kemukakan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi dari Amr ibn Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya, ia (sang kakek) berkata, "Rasulullah Saw pernah ditanya tentang akikah, lantas beliau bersabda, "Aku tidak menyukai al-'uquq." Sepertinya Rasulullah tidak menyukai dari segi namanya saja. Lantas para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, tujuan kami adlah melakukan nusuk (ibadah) dalam rangka menyambut kelahiran anak kami."

Kemudian belliau bersabda. "Siapa diantara kalian hendak menyembelih untuk anaknya maka hendaknya ia melakukannya. Untuk anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing sementara untuk anak perempuan satu ekor saja".

Imam Syafii berkata, "Ada dua orang yang ceroboh dalam hal hukum akikah (Aqiqah), orang yang berpendapat bahwa akikah (Aqiqah) itu wajib dan orang yang berpendapat bahwa akikah (Aqiqah) itu bid'ah. Dalil kami untuk membantah pandapat Abu Hanifah adalah hadis-hadis sahih yang bersumber dari Nabi Saw.

Sedangkan Ibnu Mundzir menegaskan bahwa dalil diwajibkannya akikah (Aqiqah) adalah hadis-hadis yang sahih bersumber dari Rasulullah Saw para sahabat serta tabiin. Imam Malik menyebutkan dalam kitabnya, al-Muwaththa, bahwa masalah hukum akikah (Aqiqah) adalah perkara yang tidak diperdebatkan di kalangan mereka.

Selanjutnya Ibnu Mundzir menjelaskan bahwa seorang tabiin bernama Yahya al-Anshari berkata, "Kaum Muslimin (di masa kami) tidak meninggalkan akikah untuk laki-laki dan perempuan."

Ibnu Mundzir berkata lagi, "Para ulama yang berpendapat bahwa akikah (Aqiqah) disyariatkan adalah. Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Fathimah binti Rasulullah Saw Aisyah, Buraidah al-Aslami, Qasim bin Muhammad, Urwah ibn Zubair, Atha, az-Zuhri, Abu az-Zunad, Malik, Syafi'I, Ahmad, Ishaq, Abu Tsur, dan masih banyak lagi ulama ahli fikih lainnya."

Saat ini, akikah dilakukan oleh umumnya kaum Muslimin yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw (kitab al-Majmu' karangan Imam Nawawi-rahimahullah)

Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat kita ketahui bahwa hukum akikah (Aqiqah) adalah sunnah. akikah (Aqiqah) adalah kambing yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Buraidah bahwa Nabi Saw telah mengakikahkan Hasan dan Husain.

Hukum akikah (Aqiqah) tidak wajib, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman ibn Abu Sa'id dari ayahnya bahwa Nabi Saw pernah ditanya tentang akikah (Aqiqah), kemudian beliau bersabda, "Aku tidak menyukai al-'uquq (akikah). Siapa di antara kalian hendak menyembelih untuk anaknya, maka hendaknya ia melakukannya."

Dalam hadis ini, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa beliau tidak suka (al-'uquq) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akikah itu tidak wajib karena akikah adalah menyembelih kambing tanpa sebab jinayah (tindak kriminal) dan tanpa sebab nazar.

No comments:

Post a Comment